Home Post Memahami Esensi Kebenaran Sebagai Peletak Dasar Prinsip Landasan Bermoral

Memahami Esensi Kebenaran Sebagai Peletak Dasar Prinsip Landasan Bermoral

by swarakaltara

“Segala kebenaran maunya diketahui dan dinyatakan, dan juga dibenarkan; kebenaran itu sendiri tidak memerlukan hal itu, karena dia lah yang menunjukkan apa yang diakui benar dan harus berlaku”

-Paul Natorp

Klaim terhadap pemahaman dari hakikat dasar kebenaran telah banyak melalui lorong-lorong pembengkokan dalam mata rantai pemahaman lokalitas reduksi asli kebenaran itu sendiri. Sehingga tak ayal moralitas beretika hanya sekedar gaungan formal semata dan tidak pernah sampai kepada hakikat esensial ujung tanduk dari tujuan moral dan etika. Pertarungan yang telah dilalui bahkan melampaui dimensi waktu dan tempat menghasilkan argumentatif seakan-akan unit spasialnya telah memiliki referensi data atribut berupa kejelasan fakta, tetapi padahal yang diungkapkan hanyalah berupa pembenaran semata, permainan kata-kata tidak seindah fakta dasar esensi tentang kejelasan yang benar-benar telanjang bulat dengan transparansinya.

Perjalanan dalam berpikir mengajarkan kita spirit dalam mengejar ketertinggalan akan pemikiran apatisme yang tidak pernah menemui titik terang kejernihan yang berpangkal pada cara pandang berpikir. Dengan sekelumit permasalahan yang terus mendera peradaban manusia dalam bermoral menunjukkan bahwa manusia seakan-akan meneruskan deklinasi dan dekadensi moral manusia yang akan semakin pragmatis dan mengejewantahkan sikap praktis aji bim salabim dalam kehidupannya. Karena itulah perlu dipertanyakan kembali sebuah kebenaran dalam berpikir yang telah melahirkan sebuah peradaban semacam ini.

Menarik garis hulu ke hilir yang lebih terang, semakin terbuktilah sebuah kebenaran akan selalu mengalami falsifikasi yang pada dasarnya terus melingkar membentuk (scientifik circle) sebuah lingkaran ilmiah dengan berpegang teguh dan bernafas pada moralitas kehidupan mata rantai berpikir terhadap objek berupa sub-bagian dari pembuahan terhadap kebenaran pemikiran dan kebenaran pada kenyataan. Dari pencarian sintaksis terhadap kebenaran tersebut, tentu akan selalu ada mata rantai filofosif sebenarnya yang pada tataran praktisnya menjadi abadi, yakni bentuk falsifikasi yang terejewantah pada aksi-reaksi, tesis-antitesis, serta konstruksi-rekonstruksi atau dekonstruksi. Karena itulah, sebuah kebenaran akan selalu menjadi kebenaran sementara yang pada suatu saat akan terfalsifikasi secara tersendiri sesuai dengan takaran parameter indikator yang mengiringinya, apakah itu bersifat aksidensial, lokalitas, konstekstualitas maupun karena kebutuhan zaman yang sudah berbeda karena sudah lemahnya konsep kebenaran tersebut menggenggam suatu zaman. Itu terjadi karena kebenaran telah muncul sebagai persoalan kehidupan yang kemungkinan merusak secara desktruktif dan menyesatkan.

Perubahan dalam falsifikasi ilmiah tentang kebenaran telah mencuri pandangan mata dari para pembenar-pembenar yang ingin kebenaran itu dibenarkan melalui pembenaran. Sedangkan kebenaran baru terfalsifikasi tersebut tidak memerlukan alat untuk membenarkan diri dan dibenarkan, akan tetapi ia sendiri yang menunjukkan apa menunjukkan apa yang diakui benar dan harus berlaku secara moralitas beretika. Secara eksplisit, penunjukkan kebenaran pada lingkaran ilmiah ini dijelaskan secara sistematis oleh Moh. Hatta dalam bukunya Alam Pikiran Yunani (1980). Kebenaran sebagai ruang sinkronisasi dan objek dalam alam pikir manusia sudah lama menjadi teka-teki yang selalu akan diselidiki manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaanya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu. Jika manusia secara harfiah mampu untuk mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya akan terdorong untuk melaksanakan kebenaran tersebut. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan bathin, atau bahkan konflik psikologis. Berangkat dari pemahaman tentang dasar kebenaran itulah, penulis menyimpulkan secara ilmiah serta implikasi penerapannya, kebenaranlah yang menunjukkan mana yang berlaku secara benar dan mana yang berlaku secara tidak benar atau salah.

Keadilan, persamaan, keindahan, kebebasan, kebaikan serta berbagai macam prinsip dasar yang melandasi manusia dalam memahami moralitas akan berpijak di tanah dasar kebenaran. Logika rasionalnya, kebenaran tersebutlah yang akan menjelaskan mana yang benar adil dan mana yang membenarkan itu adil, mana yang benar indah dan mana yang membenarkan itu indah. Berarti secara akal logika berpikir yang jernih, keadilan tidak mungkin menghasilkan kebenaran, namun kebenaranlah yang akan menghasilkan keadilan yang sebenarnya adil. Bentuk berpikir saling berlawanan kontradiksi yang akan sangat jauh berbeda disaat prinsip dasar landasan bermoral yang akan bertujuan pada kebenaran dengan diksi konsep dasar bahwasanya kebenaranlah yang disebut sebagai dasar itu sendiri sebagai penunjuk mana dasar lainnya yang pantas untuk disebut bermoral, baikkah itu keadilan, keindahan, persamaan, kebebasan, serta bentuk kebaikan. Jangan menyamakan antara ujung tujuan dengan pangkal dasar, karena kesesatan seperti itulah yang secara lebih lanjut akan membuat kebebasan yang absurd dalam pembenaran semakin menjadi-jadi, hingga menutupi kebenaran yang sebenarnya benar.

Contoh studi kasus yang jelas saja di negara kita Indonesia, beberapa waktu yang lalu sengketa pilpres dalam pemilu yang diselesaikan melalui lembaga Mahkamah Konstitusi telah mengajarkan kita bahwasanya adil yang ditampakkan melalui prosedural terlalui disana adalah adil melalui pembenaran, walaupun kenyataan di lapangan secara benar menunjukkan ada sesuatu yang ganjil dan salah secara hukum walaupun ruang lingkup tidak berpengaruh terhadap kuantitas suara, tetapi di mata kebenaran itu adalah salah dan perlu sanksi yang jelas berdasarkan hukum kebenaran, karena itu pembuktian pembenaran terhadap apa yang terjadi belumlah terlihat begitu adil jikalau itu merugikan kebenaran itu sendiri. Analogi sederhananya, jikalau mayoritas banyak orang berpikir bahwa air putih yang ada dihadapannya adalah air soda, maka putusan akan menghasilkan pembenaran bahwasanya itu adalah air soda, dan itu adalah adil menurut pembenarannya, walaupun sebenarnya itu air putih. Cara penunjukkan dasar kebenaran ialah air putih akan menunjukkan bahwasanya dasarnya adalah air putih yang harus dicoba dan diterima oleh orang-orang yang selama ini hanya melakukan pembenaran. Disini konteks adil jauh sekali dari keadilan yang hakiki.

Koridor yang sebenarnya memang berawal dari dasar kebenaran yang akan menunjukkan landasan yang memang benar-benar bermoral. Karena disini, bangsa dan negara selalu menggaung-gaungkan prinsip beretika bermoral tetapi kenyataan di lapangan tidak selalu seindah ekspektasi yang di harapkan negara. Sekalipun negara bermain di singgungan bilik ekspektasinya sendiri. Maka dari itu permasalahan moral tak henti-hentinya menggerogoti masyarakat dan pemerintah kita. Karena hampir semua problematika yang terjadi bisa dikatakan adalah bentuk kasus yang selalu berulang dan pada akhirnya hanya berujung pada petuah moral yang klise: “kejadian ini patut menjadi cermin agar kita ke depan tidak melakukan hal serupa.” Dan segala kata-kata mutiara bijak serupa. Dan dalam waktu yang relatif singkat rupanya kejadian itu berulang lagi, masih dengan diakhiri petuah yang sama. Lantas tidak aneh jika penulis bertanya bahkan berpikir dengan miris dimanakah peran pendidikan moralitas beretika yang selama ini gembor-gembornya digaungkan sebagai keunggulan budaya masyarakat timur yang mitosnya selalu memosisikan etika (kecerdasan moral) di atas logika (kecerdasan intelektual)? Maka penulis mereduksi serta menyimpulkan bahwa seharusnya kebenaran lah yang harus ditegakkan sebagai fondasi dasar membangun pola prilaku bermoral sebagai landasan etika dan dinaungi oleh norma-norma, bukan akuntabilitas yang tidak jelas yang ditunjukkan oleh prinsip lainnya dalam menuju kebenaran. Harusnya landasan pijakan seperti inilah yang harus dibuka melalui pemikiran yang selalu berjalan mengiringi zaman.

 

Nama Penulis : Viggo Pratama Putra

Jurusan/Universitas : Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara/ Universitas Negeri Padang

Jabatan : Wakil Presiden WPPSP ( Wadah Pejuang Penegak Solusi Politik) 2019/2020

Postingan Terkait

Tinggalkan Komentar

Kontak

© 2023 Swara Kaltara | All Rights Reserved