Home Post Tuhan Izinkan Kami Menjadi Tuan Tanah di Tanah Kami Sendiri

Tuhan Izinkan Kami Menjadi Tuan Tanah di Tanah Kami Sendiri

by swarakaltara

Tuhan Izinkan Kami Menjadi Tuan Tanah di Tanah Kami Sendiri – Perspektif skala regional dan global sebenarnya telah membuat pemetaan-pemetaan yang membuat setiap regional terpisah secara fisiologis geologis melalui bilik-bilik yang sering dipanggil “negara” yang di dalamnya terdapat sistem periodik yang terus mengalami falsifikasi pada perjalanan panjangnya. Sedangkan global menyatukan secara faktorisasi digital yang mendunia namun terfokus pada implikasi yang malah bersifat nol. Nol dalam artian kosong membuat bilangan lain kehilangan esensinya jika mereka dikalikan.

Dialektika birokrat-birokrat yang bermain dengan halusinasi semata menambah seru dinamika perjudian demokrasi. Dinamikanya sendiri bermain pada domain perseteruan yang terus menerus menekan kebutuhan masyarakat. Konstruksi permainan semata hanya berupa kepentingan pribadi ataupun golongan. Seterusnya, geliat apatisme orang-orang yang cenderung menghamba pada kekuasaan maupun orang yang berkuasa membuat masalah ini semakin unik. Keunikan semakin menarik ketika tampuk kekuasaan dijadikan ibarat piala bergilir yang selalu saja ingin dipertahankan. Pertahanan kuat dibangun untuk menghadang pasukan-pasukan yang ingin memperlihatkan apa itu kebenaran.

Namun kekuatan sokongan dari pasukan kebenaran ini tidak berasumsikan pada satu tujuan yang benar, mereka diobrak-abrik kemudian dibelokkan kebenarannya. Begitulah kira-kira analogi yang terjadi pada bumi pertiwi kita sekarang ini. Banyak sekali perebutan kekuasaan yang merugikan pihak ketiga yakninya rakyat. Mereka seakan menjual bahkan melelang bumi hingga menjual pertiwi-pertiwi kita ke pihak asing, apakah itu pertiwi yang butuh dengan uang maupun pertiwi-pertiwi terbaik bangsa dan negara tapi nyatanya direbut secara halus oleh asing melalui bujukan rayuan. Halus tapi terasa menyakitkan jika kita lebih membayangkan kepada persuasif problem yang akan terjadi suatu saat.

Semua medan ditempuhi oleh mereka yang rakus dan tamak dengan raup pundi keuntungan. Dimulai dari alam yang habis dibabat api kepentingan, materi-materi peraturan undang-undang yang dapat dibeli oleh mereka, hingga arah suatu bangsa yang dapat dikontrol oleh “elite global” tersebut. Budak-budak mereka semakin lapar dengan picisan-picisan koin yang siap dibagikan para elite disaat mereka membantu kepentingannya. Simbiosis mutualisme berjalan mulus diatas sekam bara api dendam kebenaran yang ditunjukkan oleh para pencari kebenaran. Padahal mereka tidak sadar yang mereka permainkan adalah bom waktu yang siap meledak kapanpun namun terhambat oleh kokohnya beton pagar istana keji mereka. Makanya tugas pencari kebenaran tersebut ialah mencari traktor besar membelinya kemudian menghancurkan beton keji tersebut.

Bumi Nusantara memang benar-benar diperkosa habis-habisan tapi nyatanya tidak dibayar sama sekali! Perpecahan disulut, pertengkaran didukung. Alam kita dihabisi secara habis-habisan, manusia kita diperbudak secara masif yang mana masif termasuk para apatisme yang berdiam dalam diamnya. Air mata ibu pertiwi menangis sejadi-jadinya saat apa yang harusnya dinikmati anak cucunya namun malah dikonfrontir oleh elite “regional hingga global”. Sekularisme menular sejadi-jadinya. Gaya hidup hedonisme dipertontonkan untuk kemudian ditiru oleh kaum-kaum kebanyakan.

Melihat skeptis ketakutan untuk memunculkan suatu gerakan melawan arus besar tersebut menggambarkan besarnya dorongan super power yang dihasilkan monopoli berpandai-pandai ini. Jangankan berlari ke arah inti permasalahan, bahkan untuk cegukan kepada mereka pun leher kita dicekik hingga kehilangan nafas sehingga tidak sempat lagi untuk berlari. Bagaimana pun sama-sama berharap bagaimana agar golongan ini tidak patah semangat untuk menguak inti permasalahan dengan mempertimbangkan menjadi problem solving yang akan mengubah tantangan menjadi kesempatan. Sekali kali tidak! Umpama pejuang kemerdekaan yang menyemangati pejuang yang berani memerdekakan dirinya sendiri dari penjajahan pemikiran yang mana inilah bahaya diatas bahaya. Pemikiran murni terpengaruhi melalui kode-kode hingga simbol yang seakan-akan tidak disadari oleh masyarakat kebanyakan.

Mengambang dan normatif menjadi alur santai warga dalam negara yang sibuk dengan analisis-analisis permasalahan sebesar semut, sedangkan gajah yang terang-terangan menginjak pundaknya tidak disadari. Analogi semacam ini banyak digaung-gaungkan namun hanya menjadi ingatan khayal yang akan hilang sekejap mata, masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Falsifikasi turunan dari problematika yang sedemikian rumit dirasa perlu manajemen perbaikan dekonstruksi yang memilah hal yang baik dan yang buruk sehingga kebenaran itu tampak menggunung. Konsensus terejewantahkan menjadi solusitas yang kian ditunggu pengharap penunggu surgawi alamiah kebenaran. Terselubungnya kepentingan dalam setiap kebaikan merupakan stigma berupa rahasia yang sudah umum di dalam masyarakat.

Detoksinasi batang tubuh permasalahan dirasa kurang ampuh karena ini sudah menyangkut urat nadi yang menjalar di sekujur tubuh “manusia” yang bernama Nusantara ini. Tubuh yang sakit seakan hanya diberi obat penenang penyakit sementara, bukan obat penyembuh total. Obat penenang ini selalu dipersiapkan oknum-oknum tidak bertanggung jawab secara moril dan moralitas untuk dijadikan tudung yang menutupi setiap permasalahan yang ada. Seakan akan angin besar tidak akan pernah menimpa anak gadis yang bertudung sempurna ini. Padahal angin topan hanya menunggu waktu dan mengumpulkan kekuatan dari angin-angin puting beliung kecil-kecilan sehingga menyatu menjadi angin besar yang siap menyingkap tudung warna warni ini.

Premanisme dijalankan dengan aktif bernuansa kedamaian yang membuat setiap mata tertipu akan oase di tengah gurun yang gersang ini. Para praktisi ditutup mulutnya dengan setumpuk kertas hijau berlipat-lipat ganda. Lapisan kerasnya pertahanan licik semoga semakin terkikis seiring adanya berbagai macam revolusi yang malah sudah mencapai 5.0 pada zaman sekarang. Fragment yang dibuahi harus matang untuk membungkam mulut-mulut tajam elite-elite tersebut. Presentasi akan hal ini pun harus dipersiapkan bersama sama dengan semangat gotong royong bak semangat pejuang 45.

Sebenarnya para penjahat bertopeng manis ini hanya minoritas di tengah-tengah mayoritas. Tetapi mereka dengan pandainya memainkan narasi-narasi yang mengikat orang-orang awam. Yang mayoritas malah ternyata lebih banyak bungkam dan diam apatis ketika dihadapkan dengan problem ini. Psikologi rakyat dimainkan dengan opini-opini yang mampu mengalahkan fakta sebenarnya dilapangan. Miris sekali jika membandingkan hal ini dengan kenyataan yang ada sebenarnya. Melalui pasir-pasir kecil mereka memenuhi relung-relung kepala masyarakat. Dengan hal mikro mereka bermain sehingga pemicu makro pun mencuat tajam.

Ibu pertiwi pasti akan berpesan agar anak cucunya segera bangun dari tidur panjangnya sehingga dapat mewujudkan mimpi yang selama ini hanya sebatas khayalan. Sudah saatnya kita menikmati hasil dari tanah kita sendiri. Sudah seharusnya mereka minggat dari kepentingan pribadi golongan yang mereka bela mati-matian. Jika mereka bersalah saja berani untuk membela ber narasi, mengapa kita yang berada di jalan yang benar takut menyampaikan hakikat sebenarnya? Kedepan persoalan-persoalan akan semakin banyak dihadapi oleh bumi pertiwi, urgensi kompleksitas yang harus segera diatasi sehingga tidak menjadi lahan manfaat bagi elite-elite kepentingan. Kita harus segera bangun. Bagaimanapun perjuangan harus tetap berjalan, perjuangan harus tetap digaungkan walau diterpa badai awan hitam. Kita harus berani sakit untuk sehat dikemudian hari. Nusantara dibangun bersama maka dengan bersamapun kita mampu melanjutkan estafet perjuangan ini, semangat gotong royong semoga selalu menjadi nafas dalam menyuarakan argument yang menunjukkan kebenarannya secara pure atau murni. Dengan manajemen matang, semangat kebersamaan, niscaya ibu pertiwi akan move on dan bahagia menyambut mentari pagi keduanya setelah lama merdeka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Nama penulis : Viggo Pratama Putra

Jurusan/Universitas : Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara/Universitas Negeri Padang

Jabatan : Wakil Presiden Wadah Pejuang Penegak Solusi Politik (WPPSP) 2019/2020

Penggiat Literasi

Postingan Terkait

Tinggalkan Komentar

Kontak

© 2023 Swara Kaltara | All Rights Reserved

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00