Home Post BPUMA Gelar Rapat Penilaian Verifikasi Penetapan Masyarakat Adat Dan Wilayah Adat di Malinau

BPUMA Gelar Rapat Penilaian Verifikasi Penetapan Masyarakat Adat Dan Wilayah Adat di Malinau

by swarakaltara

MALINAU, SWARAKALTARA.COM – Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat (BPUMA) menggelar rapat  bidang penetapan dan sosialisasi dalam rangka penilaian dan verifikasi permohonan penetapan masyarakat adat dan wilayah adat pujungan di Kabupaten Malinau mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat.

Rapat BPUMA melibatkan 12 adat di kabupaten malinau baik secara fisik maupun tertulis yang dilaksanakan diruang rapat Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Malinau, Selasa (16/6/2020).

Usai rapat, Koordinator bidang penetapan dan sosialisasi badan pengelola urusan masyarakat adat Kabupaten Malinau Dr. Ir. Dolvina Damus, M.Si kepada awak media mengatakan, kebijakan Presiden joko widodo memberi ruang untuk pengakuan terhadap masyarakat adat dan wilayah adatnya. “Karena itu ruang hidup adat, sudah selayaknya dan sepantasnya diberi perlindungan”.

 

Oleh sebab itu, beberapa wilayah adat termasuk Pujungan sudah menyiapkan peta wilayah adatnya dan semua dokumen pendukung untuk pengakuan hak dan wilayah adatnya, termasuk sudah dilakukan penyempurnaan terhadap peta wilayah adatnya, selain itu, lebih kurang ada lima adat yang mengajukan hal yang sama.

“Pengajuan pengakuan adat yang diproses sudah ada satu ditetapkan, yang diproses ada 3 dan menyusul nanti Kayan Hilir segerah, jadi kemungkinan ada 5 adat keseluruhan, itu yang sudah sangat siap dokumennya dan ini didampingi oleh Fomma melakukan dokumentasi terhadap hak-hak adat dan wilayah adatnya”.

Hasil rapat tadi ada dua wilayah adat yang sudah masuk dokumennya yaitu wilayah Adat Sungai Tubu, dan Wilayah Adat Pakinayeh Mentarang Hulu, tinggal verifikasi lapangan. Setelah itu tahapan pleno untuk menilai kelengkapan dokumen lapangan yang membenarkan apakah ada wilayah adatnya dengan segala macam bukti wilayah adat dan hak adat yang dicantumkan, setelah itu diajukan lagi untuk penetapan SK Bupati Malinau, timpalnya.

“Itu semua berproses termasuk wilayah adat lainnya yang sudah siap”.

Kita bersyukur di Pemerintah Daerah Kabupaten Malinau sangat mendukung, karena kita punya Perda penguatan dan perlindungan terhadap hak-hak 12 Masyarakat Adat, tinggal kesiapan masyarakat adat saja, ujar Dolvina.

Sementara, persayaratan untuk mendapatkan hak-hak adat tersebut berdasarkan ketentuan kementerian antaranya harus menunjukan atau membuktikan bahwa ada masyarakat hukum adat disitu, “contoh masyarakat Bahau yang sudah terima SK, dia menunjukan bahwa dia ada di wilayah Adat Bahau Hulu dengan membuktikan dokumen sejarah keberadaan masyarakat hukum adatnya, kapan sejarah dia pindah sampai bermukim disitu, hak-hak adatnya, kemudian kelembagaan adatnya aktif atau berjalan.

Nah bagaimana menilai bahwa kelembagaan adat disana berfungsi ada peraturan adat, ada proses musyawarah, ada struktur kelembagaannya itu dilampirkan, kemudian harus diverifikasi semua termasuk kearifan tradisional yang ada, gambaran norma-norma adat yang ada.

Yang terpenting peta yang menunjukan wilayah adatnya dimana luasnya berapa, apa saja yang ada disitu, bagaimana masyarakat adat mengelolanya dan lanjut kita verifikasi di BPUMA.

Lanjut Dolvina Damus yang juga Ketua Forum Musyawarah Masyarakat Adat (Fomma) menjelaskan, proses tahapan mulai dari identifikasi, masyarakat mengajukan dokumen dulu kemudian tahapan verifikasi lapangan ketika sudah lengkap, cek lapangan ketika sudah lengkap akan keluar jika ada keberatan masyarakat yang lain.

Karena sebernarnya konfirmasi dan pelibatan masyarakat adat diwilayah sekitarnya itu penting, kita bisa saja mengakui kita punya wilayah adat, tetapi apakah diakui oleh wilayah adat yang berbatasan, proses ini paling penting wajib dicantumkan di dokumen pendukung dalam bentuk berita acara kesepakatan batas antara wilayah adat selatan timur barat yang bersebelahan. Kalau dokumen tersebut belum ada ya tidak bisa juga, pungkasnya.

Jika ada masalah batas wilayah diselesaikan oleh wilayah adat itu sendiri sebelum mengajukan dokumen. Contoh “Wilayah Adat Bahau Hulu, bahwa disana ada Suku Sa’ben yang wilayah adatnya ada didalam wilayah adat Bahau dan itu mereka musyawarahkan bersama dengan proses yang cukup panjang.

Pendekatan pendampingan FOMMA bertahap dari tingkat desa, wilayah adat sampai ke Kabupaten. Kalau sudah musyawarah tingkat Kabupaten berarti sudah bertemu perwakilan dari wilayah adat yang berbatasan, ini mekanisme pendekatan pemetaan wilayah adat yang dilakukan oleh FOMMA.

Tapi untuk wilayah adat yang tidak melakukan itu tentu ada ruang konplen pada saat rapat, karena di BPUMA ada perwakilan dari 12 suku yang ada di Kabupaten Malinau, sehingga siapapun yang keberatan, konfirmasi, klarifikasi disampaikan kepada perwakilannya dirapatkan, boleh hadir secara fisik, dan boleh secara tertulis.

Namun, wilayah adat yang relatif cepat itu karena pendampingannya 20 tahun, Pujungan dan Bahau itu tiga kali verifikasi peta mulai tahun 1996 dibantu oleh FOMMA lanjut tahun 2 ribuan dibuat pemetaan ulang dibantu oleh Pemda untuk penyesuaian lagi karena dalam sepuluh tahun itu biasanya tataguna lahan berbeda tetapi batas wilayah adat tidak pernah berbeda sepanjang kita tetap berpegang kepada kesepakatan dan hukum atau Keputusan Kepala Adat.

Contoh wilayah Adat Pujungan yang agak lama prosesnya karena masih berproses dengan wilayah Adat Apau Kayan. Karena ada permasalahan mengenai batas di Sungai Iwan, satu sisi mengatakan mengikuti punggung gunung, disisi lain bilang membelah gunung, tetapi begitu kepala-kepala adat dari dua wilayah adat ini dihadirkan tetap berpegang kepada kesepakatan adat bahwa dalam peraturan Adat Dayak ternyata batas tersebut mengikuti punggung gunung.

“Jadi kebijakan adat kearifan tradisional sangat membantu menuntun didalam kita mengajukan pengakuan adat”, ujar Dolvina.(ezi).

Postingan Terkait

Tinggalkan Komentar

Kontak

© 2023 Swara Kaltara | All Rights Reserved