Home Post Revolusi Mental Pasca Krisis Multi-Dimensional

Revolusi Mental Pasca Krisis Multi-Dimensional

by swarakaltara

M. Hafiz Al Habsy*)

 

Revolusi mental, sebuah gagasan yang pertama kali dilontarkan oleh bapak proklamator, presiden RI pertama Ir. Soekarno pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1956. Berselang 60 tahun, Presiden Joko Widodo kembali menghidupkan gagasan revolusi mental tersebut dalam Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Gerakan revolusi mental merupakan sebuah usaha merubah kepribadian dan karakter manusia Indonesia menjadi lebih baik dan berkualitas, untuk membangun budaya bangsa yang lebih bermartabat.

Revolusi mental saat ini sangat dibutuhkan, karena di Indonesia krisis mental menjadi masalah sosial yang rumit dan kompleks, serta telah menyebar di beragai kalangan masyarakat Indonesia, baik di kalangan milenial, artis-artis, bahkan tidak terkecuali para petinggi negara juga mengalami krisis mental. Ini dibuktikan dengan banyaknya pejabat yang terjerat kasus korupsi, artis-artis yang terlibat narkoba, dan generasi milenial yang bangga dengan budaya asing hingga perilaku kriminal yang marak terjadi. Masalah masalah yang muncul akibat krisis mental inilah yang  mendorong Presiden RI Ke-7 Bapak Joko Widodo menghidupkan kembali gagasan revolusi mental dan menjadikannya  sebagai manifesto politik.

Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini bukan hanya masalah krisis mental, masih ada masalah dekadensi mental ini memiliki urgensi yang lebih besar, karena krisis mental merupakan awal dari terciptanya krisis lain, seperti krisis politik, ekonomi, kemanusiaan dan lain-lain. Artinya jika krisis mental tidak dapat di atasi, maka masalah-masalah (politik, ekonomi, kemanusiaan dll.) akan riskan bermunculan  di suatu negeri. Melihat krisis mental yang tengah melanda Indonesia, maka Gerakan Revolusi Mental merupakan langkah yang strategis guna menggembleng manusia Indonesia agar memiliki kepribadian dan karakter yang lebih baik dan berkualitas.

Pasca pandemi Covid-19, percepatan revolusi mental menjadi sebuah keharusan, sebab permasalahan krisis mental di perparah dengan timbulnya krisis kesehatan dan ekonomi. Pandemi Covid-19 seolah menjadi malapetaka bagi Indonesia, karena menimbulkan ancaman kesehatan, serta terputusnya urat nadi perekonomian Indonesia akibat kebijakan PSBB (Pembatasan Ssosial Berskala Besar) yang beberapa waktu lalu di ambil oleh pemerintah. Melemahnya ekonomi akibat pandemi menjadi pemicu meningkatnya kasus kriminal. desakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi membuat pelaku kriminal tidak berpikir dua kali dalam menjalankan aksinya. Dengan begitu, otomatis angka kasus kriminal akan semakin meningkat jika revolusi mental dan penanganan Covid-19 tidak segera dikorelasikan.

Gerakan revolusi mental sangat relevan dengan kenyataan yang kita hadapi saat ini, perubahan perilaku dibutuhkan untuk menghadapi pandemi Covid-19 yang tengah melanda negeri. Sikap indisipliner harus segera di atasi dan membiasakan diri untuk disiplin di tengah tuntutan keadaan pandemi Covid-19 yang mengharuskan patuh dengan protokol kesehatan. Dengan mewujudkan revolusi mental artinya kita sedang menuju Indonesia yang berdaulat. Dalam “Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental” terdapat 5 program untuk merealisasikan revolusi mental yaitu; Gerakan Indonesia Melayani, Gerakan Indonesia Bersih, Gerakan Indonesia Tertib, Gerakan Indonesia Mandiri, dan Gerakan Indonesia Bersatu. Demi mensukseskan tujuan dari revolusi mental tersebut, tentu dibutuhkan sinergi atau kerja sama dari seluruh elemen masyarakat.

Dalam prakteknya, revolusi mental memiliki unsur humanisme (manusiawi), dan ini perlu di perhatikan, karena berkaitan dengan prinsip penghormatan dan penegakan hak asasi manusia (HAM), atau moralisme. Prinsip humanisme atau kemanusiaan sangat penting dalam mencapai tujuan dari revolusi mental tersebut. Prinsip humanisme akan membuat masyarakat menjadi menjiwai maksud dan tujuan dari revolusi mental itu sendiri, sehingga mengantarkan kepada kesadaran dan kepedulian terhadap permasalahan krisis mental yang tengah di hadapi saat ini. Praktek revolusi mental harus di realisasikan di berbagai lingkungan, seperti lingkungan pemerintah, masyarakat, pemuda termasuk mahasiswa.

Lingkungan pemerintah, realisasi revolusi mental dalam lingkungan pemerintahan, dapat berupa penindakan secara tegas terhadap oknum-oknum pemerintahan yang melakukan tindak pidana korupsi dengan manjatuhkan hukuman yang sepadan, seperti memberlakukan hukuman mati kepada para koruptor. Dengan begitu hukuman tersebut akan memberikan efek jera, sehingga dapat meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi. Selanjutnya di lingkungan masyarakat, dewasa ini ditengah perkembangan pesat teknologi, dan masuknya nilai-nilai budaya luar menyebabkan orang-orang menjadi individulis. Maka dari itu solusinya ialah tokoh masyarakat, atau pengurus masyarakat kembali menggerakkan masyarakatnya untuk mengadakan kegiatan yang berlandaskan asas kekeluargaan, seperti perkumpulan atau acara spiritual rutin, gotong royong dan lain lain.. Sehingga mengurangi generasi milineal yang keluyuran tidak jelas, dan memberikan pemahaman agama yang lebih baik.

Merealisasikan dan memaksimalkan usaha pencapaian revolusi mental di seluruh elemen masayarakat menjadi syarat wajib terwujudnya manusia yang berkepribadian dan karakter baik dan berkualitas. Setelah 4 tahun manifesto politik (revolusi mental) presiden Joko Widodo, revolusi mental masih belum begitu efektif dalam implementasinya, terlihat dengan masih banyknya kasus kasus yang di sebabkan oleh krisis mental atau moral. Bahkan orang orang di sekitar Presiden Jokowi masih belum tersentuh revolusi mental, dibuktikan dengan masih banyaknya petinggi negara yang terjerat kasus korupsi.

Jika kita identifikasi lagi, permasalahan demi permasalahan yang tengah melanda Indonesia sesungguhnya berawal dari krisis mental. Pada kalangan pemerintahan, korupsi hadir karena petinggi negara kita belum memiliki kepribadian dan karakter yang baik dan erat kaitannya dengan integritas. Begitu juga dengan krisis kesehatan dan melemahnya perekonomian Indonesia pasca serangan pandemi, permasalahan  ini bukan semata mata karena pandemi Covid-19 yang melanda, lebih dari itu, ini adalah persoalan mental masyarakat yang dibuat seakan-akan paranoid terhadap permasalahan yang ada sehingga kita lupa untuk bangkit kembali.

Krisis kesehatan dan melemahnya perekonomian Indonesia saat ini diperparah dengan sikap tidak acuhnya masyarakat terhadap himbauan pemerintah yang berkaitan dengan penanganan Covid-19. Kesadaran masyarakat masih kurang betapa penting perannya untuk bahu membahu dalam memutus rantai penyebaran Covid 19. Begitu juga dengan masalah masalah yang timbul saat ini berawal dari atau di perparah oleh krisis mental atau moral. Jangan sampai semangat revolusi mental hanya berakhir dengan sebatas narasi atau omongan semata. Bagaimana pun juga seluruh elemen pemerintah hingga masyarakat wajib mengawal proses mengakarnya gerakan revolusi mental di negeri ini.

Maka dari itu, penulis menitip pesan kepada generasi muda terkhusus mahasiswa yang akan memikul tugas berat sebagai agent of change, menjadi agen perubahan untuk memberikan solusi demi perubahan dan keluar dari keadaan sulit saat ini. Perubahan-perubahan tersebut tentu tidak akan didapat jika generasi milenial atau mahasiswa Indonesia mengalami krisis mental maupun krisis moral. Untuk mewujudkan peradaban Indonesia maju, tentu akan dibutuhkan generasi muda yang berkepribadian kuat dan berkarakter. Generasi muda yang berkualitas  akan lahir jika revolusi mental yang digaungkan Presiden Jokowi dapat dimaksimalkan dengan cara menerapkannya keseluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali.

*) Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara-UNP

 

Postingan Terkait

Tinggalkan Komentar

Kontak

© 2023 Swara Kaltara | All Rights Reserved