Home Kaltara Pengacara MHA Dayak Agabag Menganggap Penerapan Pasal 362 KUHP Mengada Ada

Pengacara MHA Dayak Agabag Menganggap Penerapan Pasal 362 KUHP Mengada Ada

by swarakaltara

NUNUKAN, SWARAKALTARA.COM – Penasehat Hukum (PH) Masyarakat Hukum Adat (MHA) Dayak Agabak menilai penerapan pasal 362 KUHP dalam kasus sengketa antara PT.Karangjoang Hijau Lestari (KHL) dan masyarakat, terlalu mengada ada.

PH Terdakwa Theodorus menyampaikan, mulanya pasal yang disangkakan untuk para terdakwa masing-masing, Bapuli, Kual, Abetman dan Singgung adalah pasal 107 UU Perkebunan yang menjadi dakwaan primer Jaksa Penuntut.

Namun kemudian dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa terdakwa terbukti melanggar dakwaan alternative yaitu Pasal 362 KUH Pidana.

‘’Adalah benar pasal 107 UU Perkebunan merupakan dakwaan yang subjek deliknya tidak dikualifikasi terhadap diri terdakwa sebagaimana termuat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 138/PUU-XIII/2015, sehingga sangkaan pasal tersebut tidak terpenuhi,’’ ujarnya dalam sidang yang diketuai Ketua Majelis Hakim, Rakhmad Dwinanto.

Theo menjabarkan, Pasal 107 UU Perkebunan berbunyi, “Setiap orang secara tidak sah yang :
a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan
b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan
c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan perkebunan atau
d. memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Sementara itu, Pasal 55 UU Perkebunan, berdasarkan pertimbangan Mahkamah sebagaimana diuraikan pada angka 7, telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat yaitu sepanjang frasa “setiap orang secara tidak sah” dalam ketentuan tersebut tidak diartikan tidak termasuk anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-V/2007.

Oleh karena itu, kata Theo, Pasal 107 UU Perkebunan a quo juga harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana halnya yang berlaku terhadap Pasal 55 UU Perkebunan, yaitu sepanjang frasa “setiap orang secara tidak sah” dalam ketentuan Pasal 107 UU Perkebunan tidak diartikan tidak termasuk anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-V/2007.

‘’Dengan tidak terbuktinya unsur pasal 107 UU Perkebunan, maka tidak terdapat potensi lain untuk membangun proposisi tafsir terhadap komposisi delik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUH Pidana sebagaimana terurai dalam unsur pasal dimaksud,’’ tegasnya.

Theo menilai, tahapan proses pemeriksaan ditingkat penyelidikan/penyidikan, berlangsung dengan rangkaian proses yang mencederai hukum dan melanggar Hak Asasi para Terdakwa.

Para Terdakwa, adalah masyarakat adat yang kedudukannya di akui dan di hormati oleh negara, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 beserta pengakuan keberadaan hutan adat serta larangan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, melalui beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), seperti:

1. Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011
2. Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011
3. Putusan MK No. 35/PUU-X/2012
4. Putusan MK No. 95/PUU-XII/2014
5. Putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 serta
6. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 16 tahun 2018 tentang pemberdayaan masyarakat hukum adat.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa para terdakwa merupakan Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag yang telah secara turun temurun hidup dan bermukim di areal Desa Bebanas.

Fakta tersebut terkonfirmasi, baik dalam keterangan yang di kemukakan oleh seluruh saksi yang di hadirkan oleh JPU, maupun saksi yang di hadirkan oleh Terdakwa di hadapan persidangan.

Bukti lain yang menguatkan, adalah Surat Keterangan Nomor: 011/DA-DA/K/VI/2021 Dewan Adat Dayak Agabag tingkat kabupaten yang menerangkan bahwa para Terdakwa merupakan putera asli suku/etnis Dayak Agabag.

Kedudukan Terdakwa beserta seluruh warga Desa Bebanas juga telah secara terang dan tegas di akui keberadaannya oleh Pemkab Nunukan, melalui Perda Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Adat.

Lebih jauh, menyoal buah kelapa sawit yang dipanen oleh Terdakwa, adalah buah sawit miliknya sendiri yang di tanam di atas areal kebun pribadi.

Fakta tersebut telah terkonfirmasi, baik dalam keterangan-keterangan yang dikemukakan oleh saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum, Saksi a de charge, maupun bukti surat yang di hadirkan oleh Terdakwa di hadapan persidangan.

Dijelaskan, bibit kelapa sawit pertama kali diperoleh Terdakwa melalui bantuan pembagian bibit kelapa sawit dalam program kegiatan Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Tahun Anggaran 2006 dan 2007 dengan system Revolving Fund (Dana Bergulir) di Kecamatan Nunukan, Nunukan Selatan, Sebatik, Sebatik Barat, Sebuku, Sembakung, dan Lumbis.

Selain itu, klaim Saksi pihak PT.KHL, Indrayana, atas objek tanah milik Terdakwa juga tidak berdasar.

Indrayana tidak memiliki kualifikasi sebagai saksi PT KHL. Di persidangan, Saksi Indrayana mengklaim diri sebagai perwakilan perusahaan dengan jabatan Manager Umum. Faktanya, tidak terdapat bukti apapun yang mengkonfirmasi dasar pengakuan tersebut.

Bahkan dalam Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Pembangunan Perkebunan dan Pabrik Minyak Sawit di Kecamatan Sebuku, Sembakung, Lumbis Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara yang dihadirkan dalam persidangan, tidak terdapat jabatan Direktur Umum dalam struktur direksi PT. KHL.

‘’Fakta-fakta yang terurai di persidangan, objek HGU PT. KHL sebagaimana termuat dalam berita Acara Pemeriksaan, berada pada wilayah desa Sujau yang memiliki wilayah administrasi berbeda dengan wilayah Desa Bebanas. Karenanya, klaim Saksi Indrayana, tidaklah berdasar atas fakta dan bukti apapun,’’ tegas Theo.

Sementara kronologis kasus menurut versi PH, bermula ketika PT. PT. KHL mengklaim bahwa Terdakwa beserta masyarakat Desa Bebanas telah mengerjakan, menggunakan, menduduki dan/atau menguasai lahan perkebunan PT. KHL.

Padahal diketahui, Terdakwa beserta seluruh masyarakat Desa Bebanas telah mendiami Desa Bebanas sebagai tanah adat mereka yang dikuasasi secara turun temurun dan menggantungkan hidupnya pada hasil bercocok tanam.

Dengan disertai intimidasi terhadap masyarakat Desa Bebanas, PT. KHL telah melayangkan sejumlah laporan tidak berdasar di aparat kepolisian.

Mereka menuduh warga Desa Bebanas sebagai pencuri serta mengisolasi warga desa dengan merusak seluruh jembatan penghubung yang menjadi jalur perlintasan warga desa.

Bahkan pada 2020, seorang warga desa bernama Puji yang sakit stroke sejak tahun 2018 turut dilaporkan mencuri buah sawit PT. KHL.

‘’Tindakan intimidatif yang dilakukan oleh PT. KHL, merupakan bentuk upaya PT. KHL melakukan perampasan tanah dan ruang hidup,’’ kata Theo.

Reporter : Viq

Postingan Terkait

Tinggalkan Komentar

Kontak

© 2023 Swara Kaltara | All Rights Reserved