Home Post Fenomena Oligopoli Politik pada Kontestasi Pilkada Kabupaten Pasaman

Fenomena Oligopoli Politik pada Kontestasi Pilkada Kabupaten Pasaman

by swarakaltara

Oleh : Aditya Warman

Jurusan/Universitas : Mahasiswa Akuntansi/Universitas Negeri Padang (Ketua Umum GenBi Komisariat UNP)

Tepat pada 9 Desember 2020 di akhir tahun nanti masyarakat Indonesia khususnya masyarakat daerah akan merayakan momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di berbagai daerah di Indonesia, dimana menurut data yang dihimpun Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan digelar kontestasi politik pemilihan Kepala Daerah secara kolektif di 270 daerah yang terdiri dari 9 Provinsi, 227 Kabupaten, dan 37 Kota. Salah satu Kabupaten/Kota yang akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah tersebut adalah Kabupaten Pasaman.

Pilkada merupakan bentuk langkah strategis dalam memperbaiki kondisi masyarakat, dengan adanya Pilkada seluruh masyarakat akan memilih kepala daerah yang tentunya memiliki komitmen besar terhadap kemajuan masyarakat, semisal contoh, petani yang membutuhkan tabulasi dari kebijakan pemerintah yang berpihak pada kepentingan pertanian. Apalagi hari ini kita sedang mengadapi fenomena Covid-19, tentu masyarakat membutuhkan pemimpin yang tidak hanya sekedar peduli, namu juga ber-integritas agar di kemudian hari dapat memberikan solusi yang tepat sesuai dengan permasalahan yang tejadi hari ini.

Pada pelaksanaan pilkada serentak kali ini, terdapat sebuah fakta politik baru yang belum pernah terjadi di Kabupaten Pasaman. Fakta politik baru yang penulis maksudkan ialah adanya penyelenggaraan pilkada pasangan calon tunggal melawan kolom kosong yang tidak mewakili nama orang, atau pun afiliasi partai. Pelaksanaan pilkada paslon tunggal artinya hanya ada satu pasangan calon yang akan bertarung. Tentu sebuah fenomena ini akan menjadi sejarah baru dan sejarah kelam demokrasi di Kabupaten Pasaman. Namun kondisi ini tentu bukan harapan ideal banyak pihak, apalagi jika dihubungkan dengan berbagai referensi tentang pendalaman demokrasi yang lebih substansial.

Realitas pilkada paslon tunggal melawan kolom kosong ini setidaknya menciptakan banyak ruang perdebatan di berbagai kalangan intelektual, pengamat politik, maupun politisi itu sendiri. Ada kelompok yang menyatakan setuju, dan ada pula kelompok yang secara berterus terang menyatakan tidak setuju. Masing-masing memberikan argumentasi dalam membedah fenomenologi ini. Di samping itu, persepsi masyarakat terhadap hadirnya pilkada paslon tunggal juga tidak kalah menarik untuk ikut secara bersama diperhatikan lebih lanjut.

Berdasarkan data yang ada di BAWASLU (Badan Pengawas Pemilihan Umum) Republik Indonesia, pilkada pasangan calon tunggal telah dimulai pada pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015 dimana terdapat 3 dari 269 daerah yang melaksanakan pilkada merupakan pilkada pasangan calon tunggal melawan kotak kosong. Tiga daerah dengan calon tunggal pada Pilkada 2015 tersebut yaitu Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), dan Kabupaten Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur).

Sedangkan pada pilkada serentak gelombang kedua, 9 dari 101 daerah melaksanakan pilkada pasangan calon tunggal. Adapun 9 daerah dengan calon tunggal pada Pilkada Serentak 2017 adalah Kabupaten Buton (Sulawesi Tenggara), Kabupaten Landak (Kalimantan Barat), Kabupaten Maluku Tengah (Maluku), Kabupaten Tambrauw (Papua Barat), Kota Sorong (Papua Barat), Kota Jayapura (Papua), Kota Tebing Tinggi (Sumatera Utara), Kabupaten Tulang Bawang Barat (Lampung), dan Kabupaten Pati (Jawa Tengah).

Menghimpun data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada pilkada gelombang ketiga di tahun 2018, terdapat 16 pasangan calon tunggal melawan kolom kosong. Enam belas daerah tersebut adalah Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Prabumulih, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Tapin, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kabupaten Enrekang, Kabupaten Bone, Kota Makasar, Kabupaten Mamasa, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak, dan Kabupaten Membrano Tengah. Sedangkan pada Pilkada 2020 ini, setidaknya ada di 28 kabupaten/kota yang hanya diikuti calon tunggal melawan kotak kosong. Salah satu pilkada yang akan berhadapan dengan kotak kosong adalah Provinsi Sumatera Barat, tepatnya di Kabupaten Pasaman.

Sejarah baru untuk Pilkada Pasaman ini ternyata membuat polemik di publik. Polemik ini disebabkan masih banyak yang belum mengetahui proses pelaksanaan Pilkada dengan calon tunggal tersebut. Dan tidak menutup kemungkinan juga bahwa kecemasan masyarakat dan kerinduan-nya akan pemimpin yang amanah serta demi terwujudnya Good Goverment makin hari makin besar di perspektif masyarakat. Fenomena ini telah menunjukkan kepada masyarakat Pasaman bahwasanya Partai politik hari ini telah gagal menjalankan amanat Undang-undang sehingga merenggut kemewahan yang dimiliki warga negara untuk memiliki banyak pilihan untuk dipilih.

Keberadaan calon tunggal secara tidak langsung dapat dikaitkan dengan kemunduran demokrasi dan menguatnya oligarki politik. Mekanisme pemilihan di Indonesia saat ini terbukti berbasis pasar dan modal sehingga memunculkan kesempatan bagi satu kelompok politik untuk mendominasi. Pilkada terkesan sangat pragmatis dan menyebabkan dinamika politik yang mendorong munculnya calon tunggal dalam arena Pilkada. Jika oligarki politik dan ekonomi memaksakan kehendak politiknya dengan membajak demokrasi, dengan memanfaatkan relasi politiknya yang mereka kuasai, maka pertahanan terakhir rakyat untuk menunjukkan kedaulatannya ada di bilik suara karena hampir semua daerah di indonesia, tidak senang dengan kekuasaan yang dipertontonkan berlebihan.

Hasil mayoritas lembaga survey mencatat 80 persen pemilih di indonesia dikategorikan sebagai Floating Mass (masa mengambang). Karena kita selalu dipertontonkan oleh gerakan money politic, dan hanya dibawah 15% yang menjadi afiliator terhadap partai politik. Perlawanan rakyat yang ter-organisir bisa menumbangkan kekuatan politik yang didukung oleh elit politik, politik kekerabatan, uang dan oligarki dilapangan elektoral.

Hemat Penulis, ada beberapa sebab mendasar munculnya calon tunggal. Pertama, ada satu kelompok politik yang ditenggarai terlalu menguasai dan dominan sehingga tidak terdapat ruang interaksi kekuasaan yang berimbang di tengah-tengah pesta demokrasi. Hal ini diperparah dengan adanya kepentingan sekelompok elite untuk selalu berada dalam lingkaran kekuasaan. Kedua, ada kandidat yang sangat populer dengan menunjukkan tingkat elektabilitas yang tinggi, sehingga calon yang lain melihat tidak melihat ada peluang mengalahkan kandidat tersebut. Ini biasanya terjadi pada kandidat dengan posisi petahana yang terlebih dahulub telah memiliki modal konstituen. Sebenarnya, keberadaan “kotak kosong” dapat menjadi simbol perlawanan publik terhadap kepentingan elite. Kemenangan “kotak kosong” pada Pemilihan Wali Kota Makassar tahun 2018 menunjukkan bahwa keinginan elite dan publik tidak selalu berbanding lurus. Mekanisme “kotak kosong” setidaknya dapat menjadi metode untuk memperkecil dominasi kepentingan elite terhadap kehendak publik.

loading...

Postingan Terkait

Tinggalkan Komentar

Kontak

© 2023 Swara Kaltara | All Rights Reserved