Home Post Legenda Batu Saring atau Nesab di Krayan, Kutukan Bagi Orang yang Menyepelekan Makhluk Tuhan

Legenda Batu Saring atau Nesab di Krayan, Kutukan Bagi Orang yang Menyepelekan Makhluk Tuhan

by swarakaltara

NUNUKAN, SWARAKALTARA.COM – Dataran tinggi Krayan di kabupaten Nunukan Kalimantan Utara memiliki legenda batu saring atau batu nesab.

Dalam bahasa dayak Lundayeh, yang merupakan penduduk asli wilayah yang berbatasan darat langsung dengan Malaysia ini, saring berarti asahan/batu asah, sementara nesab bermakna kutukan.

Batu seukuran manusia dewasa dengan bentuk oval dengan tinggi sekitar dada orang dewasa ini pernah dikeramatkan penduduk setempat, karena memiliki sejarah tak biasa.

‘’Menurut cerita turun temurun dari nenek moyang kami, batu tersebut merupakan batu asah untuk senjata Yuvai Semaring, tokoh legenda suku Lundayeh, versi kedua adalah batu kutukan,’’ujar Ketua Persekutuan Adat Dayak Lundayeh Aprem Tinus, Rabu (26/08/2020).

Salah satu tokoh dayak Lundayeh ini mengatakan, tidak ada yang tahu persis, versi mana yang lebih kuat dari dua versi yang kadung menyebar di penduduk setempat, masing-masing versi memiliki filosofi berbeda dan menjadi kepercayaan turun temurun.

Jika menurut versi pertama yang dipercayai sebagai batu asah bagi senjata tokoh sakral dayak Lundayeh Yuvai Semaring, itu artinya, batu tersebut merupakan peninggalan bersejarah dan harus dilestarikan.

Aprem menuturkan, Yuvai Semaring, merupakan dua tokoh yang sangat dipuja oleh Dayak Lundayeh, Yuvai merupakan anak dari Semaring, tokoh suci yang membuka wilayah Krayan dan berdiam diri di sebuah bukit yang kemudian hari moksa meninggalkan kehidupan fananya di dunia, bukit tempat mereka bertapa kemudian hari dinamakan bukit Yuvai Semaring. Bandara Krayan juga dinamakan Bandara Yuvai Semaring untuk mengenang kedua tokoh sakti yang menjadi nenek moyang dayak Lundayeh.

Sementara untuk versi kedua yang percaya batu tersebut adalah manusia yang dikutuk akibat perbuatannya menghina makhluk Tuhan, maka seyogyanya, batu tersebut menjadi pelajaran bagi generasi Lundayeh agar tidak melakukan hal terlarang tersebut.

Masih menurut Aprem, dahulu ada kelompok pemuda Lundayeh pergi memancing, mereka membuat perapian untuk mengusir hawa dingin yang menyengat di sungai Krayan, karena ingin mendapat hasil tangkapan ikan besar mereka memancing di seberang sungai, saat mendapat ikan dan hendak membakarnya, mereka lupa kalau api unggun ada di seberang sungai, disuruhlah anjing yang menjadi piaraan mereka untuk mengambil kayu yang mengandung bara api.

Si anjingpun menyeberang sungai untuk mengambil kayu yang setengah terbakar sebagaimana perintah tuannya, saat dia menggigit kayu yang setengah terbakar lalu kembali berenang, salah satu pemuda tak dapat menahan tawanya karena menganggap tingkah si anjing konyol, padahal di wilayah Krayan, ada kepercayaan turun temurun bahwa menertawakan sesama makhluk Tuhan akan ketulahan/pamali.

Hingga akhirnya tawa pemuda tersebut terhenti seketika, tubuhnya mengeras dan menjadi batu yang saat ini menurut kepercayaan masyarakat sekitar batu tersebut diberi nama batu nesab atau masab yang berarti kutukan.

‘’Kami masih memiliki kepercayaan, semua makhluk memiliki derajat sama, harus saling menghormati, jangan mengolok apalagi menertawakan secara berlebihan, karena bisa menjadi batu,’’katanya.

Batu nesab yang dulunya ada di kedalaman hutan di perbatasan dua desa masing-masing desa Pa’Delung dan desa Pa’Butal kecamatan Krayan Barat, kemudian dipindahkan ke tengah desa Tanjung Karya di kecamatan yang sama untuk menjadi pengingat sejarah dan edukasi generasi Lundayeh dalam menghormati alam dan semua isinya.

Dulunya, masyarakat Lundayeh seringkali membawa sesaji dan melakukan ritual pemujaan, mereka berdoa pada leluhur Yuvai Semaring dengan membawa persembahan khusus berupa hasil panen, namun seiring berjalannya waktu ritual, tersebut sudah sangat jarang dijumpai.

Dua kisah ini masih terus menjadi kisah Lundayeh yang lestari, anak-anak Lundayeh diajari bagaimana cara menghormati leluhur dengan menjaga peninggalan dan menanamkan sejarah lewat hikayat juga dibimbing bagaimana menghormati alam sekitar dan bersahabat dengan binatang.

‘’Intinya selain untuk mengingatkan dari mana Lundayeh Berasal, generasi kami juga harus tahu tradisi Lundayeh dalam menghormati alam semesta,’’tegasnya.(ku).

Postingan Terkait

Tinggalkan Komentar

Kontak

© 2023 Swara Kaltara | All Rights Reserved